Stairs

 

Stairs

Han Rami (OC) – Shownu (Monsta X) // Han Rami – Choi Seungcheol (Seventeen)

..

..

sky.l

..

..

“….membiarkan perasaan lama-lama bertumpuk itu melelahkan.”

Satu panggung mingguan terakhir, tugas wajibnya akan berkurang untuk waktu tak tentu setelahnya. Sampai tiga belas makhluk menyusahkan itu ditugaskan kembali untuk mengumbar kerjasama tim di layar siar nasional. Menguras setiap derik tenaga yang semakin lama semakin menipis seiring waktu hari yang menguar. Meskipun kebanyakan ia hanya melakukan tugas di ruang tunggu lantas lenyap tanpa suara sampai malam menyembul detik-detik kepulangan.

Rami kadang memilih menyusup ke rooftop sembari membawa beberapa kaleng cola –bir kadang jika ia sedang merasa butuh berlari dari banyak dentum isi kepala, serta camilan ringan berbungkus paling besar yang bisa ia temui di mini market sekitar.

Angin yang semakin larut makin berhembus tanpa ampun tidak mampu mengusik Rami untuk kembali pada pekerjaannya ditengah kerumunan lalu lalang belakang panggung. Sekeliling tanpa suara bising –hanya sayup riuh kendaraan jauh di jalanan, kedua tungkainya tak harus bekerja ke sana kemari begitu dua orang yang mesti ia tangani berkucur peluh begitu dry rehearsel selesai, atau suasana tak berdefinisi yang bergeleyut enggan beranjak antara dirinya dan Seungcheol.

Namun berada di ruang terbuka kadang kala membuatnya merasa semakin mungil dibanding luas dunia.

Maka tangga kosong yang jarang dijamah orang-orang berkat kotak besi yang praktis adalah tempat persembunyian kesukaan Rami.

Cukup dua sumpal telinga beralir musik dengan volume paling keras, Rami sudah mengambil langkah mundur cukup banyak dari realitanya.

Entah sudah hitung puluh –atau bahkan ratusan menit keberapa ia bersandar pada dinding pinggir anak tangga. Dialihkannya segala portal komunikasi dalam ponsel dengan mode tanpa jangkau layanan seluler.

Hampir saja berhasil, begitu salah satu sumpal telinga Rami dicopot tiba-tiba.

“Hei!” refleks ia berteriak kesal.

Ujung-ujung tinggi yang merekah serta dua garis bak bulan sabit yang menyapanya segera menyapu bersih jengkel karena diinterupsi tanpa aba-aba.

“Pantas aku tidak melihatmu berkeliaran akhir-akhir ini,” laki-laki itu tanpa repot bertanya segera mengambil sisian Rami. “Hari ini panggung terakhir?”

Rami mengangguk.

“Kita bertemu akhir tahun nanti lagi berarti?” samar-samar kedua ujung alisnya merosot.

Kepala Rami mengangguk kembali.

“Ya ampun, tidak terasa ternyata kau makin besar ya?” Shownu menjulurkan tubuh menerjang tatap Rami –yang memberitahu gadis itu dan raganya sedang tak berada pada dimensi yang sama.

Ekor mata gadis itu melirik singkat. Gumul-gumul udara berserakan dari rongga pernapasan. Tahu-tahu tumpu pelipisnya bergerak mengganti topang pada bahu yang bergeming di sampingnya. Shownu hanya tersenyum simpul, terbiasa tingkah gadis itu yang tak peduli respon aksinya dari siapa pun.

Meski tak sampai satu revolusi bumi sejak mereka saling kenal, dua nyawa tersebut tak merasa risih akan kehadiran satu sama lain. Makin hari bahkan tak terasa ada garis tipis antara keduanya. Tidak satu pun dari keduanya merasa perlu menebalkan atau menipiskan garis samar. Tak tertarik pula tahu akan kedudukan diri masing-masing pada urut orang penting.

Rami adalah dari segelintir orang yang masih memanggilnya dengan nama lahir, Hyunwoo, ia sama sekali tak keberatan.

“Ada masalah?” tanya Shownu, berhati-hati tanggap Rami.

Gadis itu menggeser diri, memperbaiki tumpu kepala mencari posisi nyaman di bahu Shownu.

Oppa.”

“Huh?”

“Kita ini apa?”

“Maksudmu?”

“Kita, sebenarnya aku dan Oppa disebut apa?” Shownu memelintir sendi leher, menangkap wajah macam apa yang terpeta di atas paras Rami. “Kita bukan kolega, teman? Kurasa juga tidak. Adik kakak? Apalagi. Oppa… kau tidak bisa menjawab juga, kan?”

Beberapa sekon ia terhenyak. Namun kini ia malah terkekeh.

“Tidak semua hubungan antara laki-laki dan wanita butuh definisi. Kadang definisi memang perlu, tapi jika definisi hanya akan membuat banyak anak tangga bahkan persimpangan apakah masih penting?”

“Bukankah yang terpenting kedua sisi merasa nyaman dengan apa yang ada?”

Rami menegakkan tubuhnya kembali. Menalar pelan-pelan tiap kalimat Shownu baik-baik.

“Aku suka Hyunwoo Oppa.”

Shownu tersenyum sembari kepalanya bergeleng singkat, “Aku juga suka Han Rami.”

Kepala gadis itu menghentak dinding kembali, pelan. Bibir mungil meloloskan erang tak jelas, “Kenapa tidak bisa segampang ini kalau berbicara dengan dia.”

Sedikit, terasa denyut yang tak nyaman lekas ia mengerti ‘dia’ yang Rami sebut bukan berarti ia yang duduk di sampingnya.

“Berarti, perasaanmu butuh lebih banyak mendaki anak tangga.”

“Tangga?”

Semburat menyenangkan yang menenangkan dan menular pada raut Shownu dipasati Rami lekat-lekat, “Kadang ada perasaan yang bisa secepat menaiki elevator. Tapi ada juga perasaan yang butuh banyak pertimbangan dan waktu. Tangga memang melelahkan, namun seiring tiap satuan yang dilewati bukankah akan semakin dekat dengan keputusan akhir?”

Kedua sisi depan alis Rami berdekatan mengikut ceruk dahinya, “Keputusan?”

“Apakah perasaan itu akan kau perjuangkan atau tidak,” disingkirkannya sela-sela rambut yang tergerai menghalang wajah Rami. “Jangan terlalu dipikirkan. Perasaan butuh hati, bukan otak.”

Gemas, dicubitnya sisi pipi Rami yang tak mendekat dinding, “Sepertinya mereka sudah selesai berkemas pulang. Sampai jumpa akhir tahun nanti.”

Laki-laki dengan senyum mirip boneka beruang itu beranjak, pergelangan Rami menggerak lambai seadanya. Sementara, Rami tetap bergeming berputar-putar dalam labirin kepalanya yang seperti tak berujung jua.

 

**

“Sudah semua, kan?” Rami memasukkan setel terbungkus terakhir ke deret gantungan di bagian belakang mobil. Baju-baju sponsor yang harus segera dikembalikan ke bagian penata gaya. Penanggung jawab dengan papan dada di bangku penumpang mengacung jempol pertanda tiap setel yang dibutuhkan telah tercentang sesuai urut.

“Oke. Sampai ketemu besok,” pintu geser mobil terhentak menutup. Membiarkan sosok Rami terpaku di tempat, menimbang apakah ia akan langsung kembali ke officetel atau mampir menegak sekaleng dua kaleng bir di minimart tak jauh dari tempatnya kini.

Baru saja tungkainya berbalik arah berniat kembali menuju gedung officetel, paras merunduk di bawah hoodie menggelitik kerongkongannya untuk berteriak memanggil sosok yang tampak tak memerhatikan sekitar.

“Seungcheol….”

Memang panjang anak tangga yang harus ia daki, perlahan pun tidak masalah bukan?

 

**

Ia akhirnya hanya menegak dua kaleng cola, takut terlalu larut bercandu lantas gagal sampai dengan selamat ke officetel di waktu malam yang berbahaya. Sekaligus ia harus menjamin nyawa di hadapannya yang sibuk mengosongkan kaleng kedua bir.

Sudah terhitung lima belas menit mendengarkan derik jangkrik entah di rumput pekarangan siapa di luar sana tanpa suara. Rami pikir akan mudah berujar begitu ia meneguhkan niatan. Sayang, yang terjadi malah sebaliknya. Ia kembali bertubruk dengan gengsi dan pikirannya.

“Pulang saja. Aku tidak akan membeli lebih dari dua kaleng ini,” Seungcheol membuka bungkus camilan keripik udang yang dibelinya.

“Siapa yang menjamin? Janjimu tidak bisa dipegang,” balas Rami lekas.

Seungcheol mendorong bungkus camilan pada Rami, “Sejak kapan? Aku tidak pernah mengumbar janji seingatku.”

Seingatnya ia tak bertukar pembicaraan hampir dua minggu ini dengan Seungcheol. Setelah kejadian tempo hari, pertanyaan Seungcheol yang tahu-tahu menyerang Rami.

“Kau pernah janji kapan-kapan mentraktirku. Kapan-kapan yang sudah hampir satu tahun tidak kau ingat lagi,” seru Rami. Masa bodoh dengan kemungkinan cemooh Seungcheol karena ia masih mengingat janji di tengah canda itu.

“Ah ya…. maaf aku lupa,” sepertinya Seungcheol sedang enggan mengusung adu layaknya waktu biasa.

Lagi pula bertukar tengkar kali pertama mereka kembali berbicara setelah situasi tak jelas selama dua minggu belakang hanya menyia-nyiakan kesempatan. Kesempatan untuk mencari jalan lurus yang tak membingungkan. Watak keras gadis di depannya juga membuat Seungcheol berpikir seribu langkah agar tidak mengayuh haluan yang salah.

“’Kita ini apa?’ Kau…. bertanya begitu terakhir kali kita bicara,” ditumpahkan juga gumpalan yang berdesing kuat di rongga telinganya itu. Namun kedua titik kelam pandanganya tak berhadapan dengan tatap lawan bicara yang menagih.

“Aku…. tidak tahu. Rasanya, aneh,” tanpa sadar hembus keras napasnya berserak, “mungkin kau sudah menaiki seluruh tanggamu. Tapi aku belum.”

“Tangga?”

Rami mengangguk pelan, “Tangga panjang yang mesti kulewati. Sebelum terpampang pintu keputusan.”

“Han Ra.”

Sorotnya melebur dua kelam pada jarak rana. Panggilan yang selalu berhasil menguras perhatiannya.

“Terserah berapa lama yang kau butuhkan,” pelan-pelan ditariknya jeda, “aku tidak akan beranjak. Perasaanku jelas, aku menyukaimu.”

Matanya mengerjap dua kali dari normal. Berusaha mencerna benar-benar apa yang sekejap lalu ditutur pria itu tidak hanya delusi otaknya semata. Apa mungkin lindur karena kadar campur dari dua buah kaleng bir yang telah tandas?

“Aku tidak mabuk, jelas-jalas masih sadar sepenuhnya,” Seungcheol menyahut, seolah gaung pikirannya terbaca jelas dalam mimik.

Oh, shit.

Lagi-lagi Seungcheol mengambil seribu langkah jauh sebelum Rami bisa mengumpulkan keping-keping situasi dengan tepat. Labirin yang berliku di dalam kepalanya tiba-tiba lenyap, terganti kekosongan panjang yang tanpa petunjuk.

Tak terkira balasan apa yang harus ia lontarkan.

“Aku menyukaimu Han Ra. Bukan suka seperti Vernon menyukaimu. Bukan juga suka yang kau biaskan dengan Shownu hyung. Atau suka yang kau umbar pada member lain,” kelopak matanya terlihat sayu, namun pandangnya memicing keras legam Rami.

Kata-kata yang berjejer di dalam kepalanya berlarian tak tentu arah. Kehilangan kombinasi untuk beresponsi pada apa yang baru saja ia dengar. Ia tak paham harus memberi tanggap macam apa.

“Tidak usah, kau tidak perlu menjawab apa-apa. Aku hanya ingin jujur. Membiarkan perasaan lama-lama bertumpuk itu melelahkan,” Seungcheol menengadah, menguak tatap pada langit gelap tanpa titik-titik benderang.

Ini kali pertama bagi Rami. Kepalanya melompong tanpa penjelasan dan perasannya berdesir tak karuan. Dua kelam matanya masih terpaku pada figur yang kedua kelopaknya tampak beristirahat kini.

“Aku….” bibirnya menunggu sesuatu mendesak dari pita suara. Namun pengharapannya diputus asa. Tidak ada yang berlonjak menyahuti.

“Jangan dipikirkan terus. Lewati saja jalur yang harus kau tempuh. Aku disini, tidak akan kemana-mana.”

Susun panjang yang ia pikir akan segera berakhir singkat malah tampak semakin panjang. Mengusung tiap kemungkinan di jalur yang berbeda. Sementara Rami terpatut pada pijakan, tak tahu arah mana yang harus dijajalnya.

Masih panjang sepertinya, hingga ia bertemu wajah dengan ‘Pintu Keputusan’.

 

=end=

Hiiiing~

ga unyu ga romantis banget ya sekop? tahu-tahu nembak ditempat ga mendukung begitu. ah elah, udah serong sana sini ga ada usahanya lagi yak?

maap ya, itu sekop yang garing. bukan saya #alesanbanget.

 

3 Comments

  1. AKU LONCAT NIH YA. AKU LONCAT BENERAN NIH

    HUAAAAAAAAAAAAAAAA AKHIRNYA SEKOP BILANG SUKA JUGA, RASANYA ITU KAYAK KELILING TAMAN DUA KALI TERUS KETEMU ORANG GILA TERUS KEPAKSA LARI LAGI. BIKIN GEMES IH LI, BODO AMAT SAMA LATAR GAK MENDUKUNG YANG PENTING PEMAIN UTAMANYA JELAS HAHAHAHAHA

    Gak sanggup mau ngomong apalagi, yang akhir manis ih. Iya sih sekop gak kemana-mana, orang nyosornya sama sesama member. Belum lagi ada Jeonghan yang cantik parah, mana bisa dia move on /duagh/ Dan sowno yakin gak panas nih? Kebakar gitu, kan rami ngomongin soal sekop di depan dia. Duh maz jangan ditahan panasnya, bakaar! ntar kalau rami udah lengket sama sekop susah ngelepasinnya /kompoooor teruus/

    Azhek filosofi tangga di sini cocok banget emang sama rami. Yang perlu keringat lebih buat naik tangga biar bisa mengerti semua kegelisahan tak berarti ini /eyaak/ semangat naik tangganya rami! Semonga selamat sampai tujuan, jangan sampe nemuin pintu di tengah jalan terus kamu malah tersesat ke pangkuan orang lain lagi huahahaha

    Makasih canonnya li! Suka! Ditunggu kelanjutan berikutnya, sering-sering pubs ya! HAHAHAHA Dah!

    Like

    Reply

  2. Ini tumben tumbenan banget hanra-seungcheol kalem ya, walaupun kalemnya dalam tanda kutip “memainkan emosi para pembaca”

    TAPI SUKA LI!! AKHIRNYA YA DUA BOCAH INI BISA NGOMONG DARI HATI KE HATI DAN BUKAN CUMA ADU OTOT BIBIR DOANG AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA MANA SEUNGCHEOL MANIS PULA NGOMONGNYA

    “Aku tidak akan beranjak. Perasaanku jelas, aku menyukaimu.” Subhanallah subhanallah subhanallah ini demi apa bukan kalimat cinta penuh gombalan tapi langsung nyes adem di hati. Aku tidak akan beranjak, aku menyukaimu. Sedaaaaaaaaaaaaap seungcheol besok langsung lamar hanra aja nanti ayo biar aku urusin semua urusan kua /loh loh loh apa maksudnya ini/

    Dan itu seungcheol mau nungguin hanra sampe hanra selesai pijakan demi pijakan tangganya, seungcheol ada disana dia tetap disana dia nungguin hanra aduh demi apa beneran deh ini manis banget ;_;

    Semoga hanra ga terlalu lama buat sampai di pintu keputusan ya, sesabarnya seungcheol nungguin kamu, disini ada pembaca yang gemes sama kelanjutan nasib percintaan kalian /kedipin mata centil ala syahrini/

    P.s: itu mas shownu ya… tenang banget, udah bodi mirip papa beruang, omongannya nenangin, walaupun pasti ada cemburu kan? Hayo ngaku hayo ngaku hihi

    Like

    Reply

  3. HAAAAAAAAAAAA HALOOOOO LIAAAAAAAAA /ngerusuh bareng hoshi/

    Kok aku gereged sendirinya, mereka bikin aku baper ;________;
    Apalagi sekop!!! Aih aku terharu sama sekop yang mau nungguin hanra. Jangan lama lama, kasian cowok ganteng kayak sekop dibiarin nunggu. Tapi kalau suatu saat sekop mau pindah hati aku rela kok jadi pengganti hanra /ditabok/

    “aku tidak akan beranjak. Perasaanku jelas, aku menyukaimu.”
    HAAAAA SEKOP KENAPA JADI ROMANTIS GINI. GAKUAAADDDDDDDDD. Tolong untuk hanra terima aja sekop.

    TANGGUNG JAWAB LIA AKU BAPER HUHU. DITUNGGU KELANJUTAN DUA SEJOLI INI. XOXO

    -rinchann

    Liked by 1 person

    Reply

PAY HERE!